Mungkin kalau mendengar kata ini, kita bisa mengartikannya dalam multi-tafsir. Sebagian memiliki pengertian kata “tabah” sebagai sikap pasrah dan berdiam diri menghadapi ketidakpastian dalam hidup. Sebagian lagi memaknainya sebagai ketahanan dalam menjalani ujian demi ujian yang amat berat dan kadang menakutkan. Tetapi ada yang betul-betul menghidupi kata “tabah” tadi: melaluinya dalam kesabaran, bahkan bersukacita melewati semuanya dengan senyum dan keceriaan.
Merasa…
Lantas, kita perlu melihat keterkaitan dari topik ini dengan gejala yang sering kita sebut sebagai sumbu pendek. Ya. Kita sering kali merasa kukuh akan pendapat kita tentang hidup, diperlakukan tidak adil, dan kurang akan segala sesuatnya sehingga mudah kecewa, sakit hati, tersulut, terprovokasi, dan seterusnya karena begitu menuntut kesempurnaan dunia. Aneh. Ingin ada perbaikan di segala sektor kehidupan, tapi hanya terus berdebat saja.
Bukankah kalau begitu sikap yang demikian malah tidak mencerminkan makna dari ketabahan? Mengapa tidak kita sambut lembar kehidupan baru dengan aturan-aturan yang baru? Lebih baik daripada terus argumentasi di media, televisi, bahkan dalam keseharian. Carol Dweck (2006) dengan gamblang menjelaskan bahwa perspektif mencapai sebuah keunggulan sangat mempengaruhi daya juang dan kemampuan seseorang serta niat maupun perhatiannya dalam belajar. Maka benar adanya yang disampaikan Leo Buscaglia: The person who risks nothing, does nothing, has nothing, is nothing, and becomes nothing. He may avoid suffering and sorrow, but he simply cannot learn, feel, change, grow, love, and live.
Belakangan makin kita menjumpai perilaku negatif pengemudi lau lintas yang sudah keterlaluan; bahkan sampai mengumpat dan melakukan kekerasan. Tak heran hal serupa ternyata terjadi di dunia maya. Akun-akun bayaran (dan gosip) terus bertebaran di berbagai medsos, menyebarkan negatif dan memaksakan menggiring opini mereka. Celakanya yang ikut terperangkap dalam lingkaran kegaduhan ini juga banyak. Bukannya membersihkan masyarakat kita dari sumber penyakit, aparat penegak hukum justru sibuk mengkriminalisasi dan mengurus hal-hal tidak penting lainnya. Sungguh sebuah dagelan yang tidak pantas kita pertontonkan ke dunia luar!
Tantangan dalam Ketidakberdayaan
Kerap kita menyingkapkan pesimisme yang bunyinya begini: “Bangsa kita adalah bangsa tidak berdaya.” Mulai dari kesemerawutan hukum, ketidakmampuan menghasilkan ilmuwan mumpuni, sulitnya menciptakan kultur entrepreneurship, keterbatasan pangan, dan masih banyak lagi. Panjang kalau menuliskan daftar segudang permasalahan tadi disini. Kita sangat pandai dalam berkomentar dan mengkritik. Tapi kita malah meluputkan, menarik diri dari pencarian jalan keluarnya. Tanpa sadar, kita turut menjadi bagian dari “kekacauan” yang pada dasarnya kita buat sendiri.
Baiklah. Saya ingin berbagi pengalaman dengan Anda sekalian soal ini. Setidaknya ada dua kegalauan yang membuat saya begitu gelisah. Pertama, keinginan saya menempuh jalur kewirausahaan setelah menamatkan studi S1. Sayangnya masih belum mendapat restu dari kedua orang tua hingga saat ini. Saya kurang tahu persis apa sebenarnya yang ada pada benak mereka. Meski begitu, saya cukup memaklumi kekhawatiran mereka (yang agak berlebihan) akan masa depan saya: modal, penghasilan, kecukupan hidup, dan seterusnya. “Ternyata memang susah mengajak orang keluar dari kenyamanan yang semu.” Begitu saya berkata dalam hati.
Kedua, saya sedikit frustrasi dengan pusaran kerumitan yang terjadi pada dunia pendidikan kita. Pendekatannya begitu birokratis. Sudah begitu tidak ada wadah untuk mereka yang memiliki keunggulan non-mekanistik (tidak hanya berfokus pada teori, tapi lebih kepada penerapan dalam keseharian) di luar kelas. Tak heran kalau sekolah -juga para pendidik kita- cukup kesulitan menemukan anak-anak yang punya jalan lain untuk berkarya. Saya pun merasa dongkol dengan para akademisi yang begitu getol menekankan scientific paper sebagai keutamaan dalam berinovasi. Padahal itu sama sekali tidak menyelesaikan permasalahan yang ada di lapangan secara komprehensif.
Tapi begitulah dunia bekerja. Kebanyakan kita lebih memilih menjalankan SOP yang sudah ada ketimbang merampingkannya dan membuatnya bernas. Memang ini ujian kita bersama, yang membutuhkan persistensi untuk terus bersabar menjalaninya. Pertarungan yang berat diluar sana. Dan kadang kita merasa tak berdaya melalui itu semua. Tapi perjalanan bangsa ini masih Panjang. Jadi harus terus menjaga asa demi mewujudkan keutuhan berkarya. Itulah tantangan yang akan kita hadapi kini dan mendatang dalam (yang kita kira) ketidakberdayaan tadi.
Longer Journey
Itu sebabnya ilmu ketabahan hanya bisa didapat lewat ujian maha berat. Kata Leon Brown, “You are your own worst enemy. It is your negative thoughts that hold you back, nothing else.” Anda akan mengalami banyak kepahitan serta hal-hal tidak menyenangkan lainnya ketika melangkah memulai hal baru. Bahkan itu bisa saja datang dari orang terdekat Anda. But it is your attitude that does matter enormously, not the object is. Semua berpulang kembali pada kita dalam menyikapinya.
The longer journey is awaiting us. Begitu orang bijak selalu berprinsip. Melepaskan segala urusan masa lalu, menjalani lebih baik kehidupan sekarang, dan memperbaiki masa depan. Set our best foot forward within more wisdom. Keluar dari perangkap kegaduhan. Bertahan pada komitmen untuk selalu menolong orang lain. Because it is a longer journey to make the world a better place to live. Menuju kehidupan yang lebih kolektif dan menyejahterakan. For brighter life and more happiness. Ya. Karena kebahagiaan memang harus kita bagikan dengan semesta dan juga seluruh isinya. Itulah gunanya ilmu ketabahan.
Juan Karnadi
Mahasiswa Fakultas Teknik
Universitas Indonesia